Sabtu, 27 Juni 2015

Gereja Merah, Wisata Probolinggo Rasa Belanda

Tak ada tempat yang tak memiliki cerita. Begitu pula dengan salah satu bangunan bersejarah peninggalan Belanda di kota Probolinggo yang tak biasa ini . Gereja Merah.

Mengapa disebut Gereja Merah? Tak perlu jauh-jauh, karena penamaan ini berdasarkan warna bangunannya , merah. Cukup unik, karena tak seperti gedung-gedung peribadatan yang diberi warna teduh--seperti putih, biru, hijau, atau coklat--pada umumnya.

bangunan gereja yang mirip rumah boneka

Pada tanggal 19 Juni lalu, saya berkesempatan untuk bertamasya bersama teman-teman dalam proyek cerpen "Ayo Terbitkan Bukumu!" Kami melaksanakannya untuk membuat catatan perjalanan, sekaligus untuk ngabuburit, mengisi waktu sembari menunggu berbuka puasa.

Kami menyusuri jalanan di pusat kota Probolinngo dan mengunjungi beberapa tempat yang mencuri hati saya yakni Museum Probolinggo, Gereja Merah, dan Museum Dokter Saleh. Namun kali ini saya akan menceritakan lebih lanjut mengenai salah satu situs bersejarah yang terletak di jalan Suroyo 32 Probolinggo ini.

Selidik punya selidik, ternyata gereja yang didirikan pada tahun 1862 ini dulunya berwarna putih, namun karena korosi yang terjadi akibat uap air laut yang merusak lapisan dan keindahannya, maka warnanya diganti menjadi merah. Warna merah ini juga melambangkan darah Kristus yang dicurahkan untuk menebus dosa manusia.

Tempat ibadah yang bernama Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel ini menyimpan beberapa artefak dari masa kolonial Belanda dulu. Benda-benda tersebut antara lain cawan perjamuan, cawan baptisan, foto-foto bangunan gereja di masa lampau, serta Alkitab kuno besar berbahasa Belanda.
 
Dari luar, bangunan yang dibangun dengan sistem knock-down ini memiliki sudut-sudut yang tajam dan dinding yang bergelombang  seperti kardus. Di sisi depan, terdapat satu pintu putih kecil dengan satu jendela kaca di atas pintu dan dua jendela kaca di masing-masing sisi kiri dan kanannya. 

Gedung ini memiliki atap sederhana, hanya permukaan miring seperti sebuah buku tulis yang dibentuk segi tiga dan diletakkan di atas meja. Permukaan atap yang sangat datar akan dengan mudah membuat siapapun yang menjejakinya terpeleset. Puncak atap gereja ini juga tak rumit, hanya memiliki tambahan kerucut kecil dengan panah penunjuk arah (utara) di atasnya. Tapi sayang, kini penunjuk arah tersebut sudah tak berfungsi.

atap miring yang licin, hehe 
 
Mari kita jalan-jalan ke dalam gedung. Begitu memasuki ruangan, nuansa Belanda pun langsung tersaji. Jendela-jendela berbentuk seperti nisan atau loh batu (media yang digunakan nabi Musa untuk menuliskan 10 Perintah Allah) dengan kerangka berukir menyuguhkan sinar siang dari kaca-kacanya yang berwarna biru dan kuning. Tak hanya kaca, dindingnyapun juga berwarna kuning.
 
Langit-langit gedung yang tanpa plafon ini membuat bangunan ini tampak tinggi, dan beberapa lampu gantung pada kerangka-kerangkanya menciptakan kesan sederhana dari gereja tua ini.
 
Mimbar untuk pengkotbahnya sangat menarik, karena memiliki tangga melingkar untuk menuju podium, sehingga jemaat bisa memperhatikan sang pengkotbah sekaligus menikmati sentuhan arsitektur menawan. Mimbar ini juga masih bertema merah dengan garis-garis putih, begitu juga dengan balkon di dekat pintu masuk yang dulunya digunakan sebagai tempat paduan suara, namun kini sebagai tempat duduk jemaat ini.

kak Stebby sedang menjelaskan mengenai Gereja Merah kepada teman-teman

Di altar gereja terdapat tempat duduk para majelis, tempat untuk paduan suara serta meja alat musik (keyboard) dengan ukiran bersimbol alfa dan omega (Yang Awal dan Yang Akhir). Bangku-bangku kayu tempat duduk jemaat yang merupakan saksi bisu apartheid atau pembedaan kaum Belanda dengan kaum pribumi, tampak masih kokoh.

suasana di bagian dalam Gereja Merah yang damai

"Ketika Jepang datang menjajah Indonesia dulu, gereja ini sempat dijadikan gudang senjata." Terang kak Stebby Julionatan, pembina kami. Namun sekarang, gereja merah kembali digunakan untuk beribadah, mensyukuri segala berkat Sang Maha Kuasa.

Kabarnya, salah satu destinasi wisata Probolinggo ini memiliki saudara kembar yang terpisah jauh darinya lho, yaitu di Leiden, Belanda. Sayangnya, sang saudara bangunan tersebut telah meninggalkan jati dirinya, karena tak lagi berfungsi sebagai tempat ibadah, melainkan beralih menjadi bar.

Sebagai pengunjung di kota ini, saya sangat ingin kembali datang dan menikmati ibadah di bangunan kuno ini, atau hanya sekedar menghirup nuansa lampau Probolinggo di zaman Belanda. Dan tentu warisan bersejarah ini dapat dikunjungi oleh siapa saja . Semoga bermanfaat :)

2 komentar:

  1. wah menarik sekali, baru tau saya ada gereja seperti itu, bangunannya memang mirip dengan bangunan belanda pada umumnya

    BalasHapus