Minggu, 18 Mei 2014

Simpatimu Mengubah Hidupku

     Namaku Lovcy Bellatrix. Aku adalah gadis paling beruntung di dunia. Aku dilahirkan di tengah desa Sukajaya yang kecil dan damai, pada  tanggal 29 Februari, 27 tahun yang lalu. Aku tinggal di tengah-tengah keluarga yang sangat menyayangiku. 

     Masa SD adalah masa yang terburuk dalam hidupku. Rambutku berantakan, baju seragamku sobek di sana-sini, buku-buku dan pensilku satu-satunya digigiti tikus. Nilai-nilaiku pun tidak kalah parah dengan penampilanku. Tidak pernah sekalipun aku mendapatkan nilai 7 atau ke atas, nilai 6,5 pun adalah satu-satunya nilai yang paling ku banggakan. 

     Yang terparah adalah kelas 4 SD. Jumlah ketidak hadiranku di kelas mencapai 15 hari. Aku sering tidak mengerjakan tugas dan PR. Orang tuaku pun menunggak uang sekolah selama 3 bulan. Aku hampir saja dikeluarkan dari sekolah.

     Tidak ada satupun teman yang mau mendekatiku, kecuali Ravio Arjunadi. Vio adalah anak yang paling gendut, hitam, jelek, dan ingusan dalam kelasku. Dia adalah teman ku sejak masih TK.

     Aku tidak tahu kenapa Vio betah dekat-dekat denganku. Padahal, aku adalah seperti orang hutan, baju sobek dan penuh tambalan, buku dan alat tulis sudah usang, rambut acak-acakan, bodoh, dan bauku tidak pernah wangi.

***

     Suatu sore, Pak Dito, teman lama ayah ku datang berkunjung. Aku baru pulang sekolah ketika beliau pamit. “Rud, maaf ya, aku nggak bisa mengajak anakku, Didi main ke sini karena dia sedang sekolah. Mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi dan membicarakan tentang perjodohan anak kita.” kata Pak Dito, lalu masuk ke mobilnya.

     “Hah, perjodohan? Anak Pak Dito dengan aku? Namanya Didi? Siapa itu, aku belum pernah dengar.” gumamku. “Apa mau si Didi sama aku yang tidak cantik begini.” kataku dalam hati.
     Aku berlari menemui kakakku yang sedang memperbaiki atap rumah. “Kak Elang, sini kak…” “Kenapa Ci, ada apa?” tanya kakakku sambil menuruni tangga. “Kak, tadi aku dengar, Pak Dito dan ayah akan menjodohkan aku dengan anaknya, Didi. Apa itu benar kak?” tanyaku.

     “Kamu itu! Kamu masih kecil, nggak sopan kalau kamu ikut ndengerin pembicaraan orang tua!” bentak Kak Elang. “Ma, maaf Kak, aku  salah. Aku minta maaf.” kataku sambil gemetar. Aku berlari masuk kamar sambil menangis. Sejak di bentak kakakku, aku berjanji tidak akan pernah melakukan hal itu lagi.

     Tok, tok, tok… Pintu kamarku diketuk. Aku membukanya pelan-pelan. “Cici, kakak minta maaf. Nggak seharusnya kakak membentak kamu.” kata Kak Elang sambil menatapku. 

     “Tidak kak. Seharusnya aku yang meminta maaf, karena aku yang salah. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ku lagi.” kataku. Kakaku memelukku erat-erat sambil berkata, “Kakak bangga banget punya adik kayak kamu.”

***

     Pagi itu adalah hari pertama di kelas 5. Bu Guru memasuki kelas dengan senyum manis. “Selamat pagi anak-anak.” “Selamat pagi bu.”

     “Anak-anak, ini adalah hari pertama kalian menginjak kelas 5. Itu artinya, sebentar lagi kalian akan menghadapi ujian akhir sekolah. Persiapkan semuanya mulai dari sekarang. Hanya ada dua pilihan untuk kalian. Ingin ke SLTP, atau tetap belajar di SD.”

     Kata-kata Bu Guru tadi benar-benar menusuk jantungku. Aku takut dan bingung tidak karuan. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku tidak lulus ujian, dan aku pasti akan dikeluarkan dari sekolah. Aku menyembunyikan wajahku di meja sambil menggigit jariku kuat-kuat, sementara keringat mengalir deras dari tubuhku.

     Vio melihat tingkahku yang mencurigakan, lalu mendekatiku. “Cici, kamu kenapa?” Aku terkejut setengah mati sampai mukaku pucat. “Kamu kenapa, apa kamu sakit?” tanya Vio.

     “Oh, tidak. Aku tidak apa-apa. Aku cuma takut, seandainya aku tidak lulus ujian, aku akan dikeluarkan dari sekolah ini, dan…” “Sssst, kamu  tidak boleh berbicara seperti itu. Aku percaya, kamu pasti bisa lulus ujian, asalkan kamu mau belajar mulai sekarang.”

***

     Sejak itu, aku selalu giat belajar. Setiap sore Vio selalu datang ke rumahku untuk  mengajariku. Aku mulai semangat belajar. Vio tidak pernah bosan mengajariku, meski aku sering bertanya dan tidak paham. Vio dengan sabar mengajariku sampai aku benar-benar mengerti.

     Kesabaran Vio dan hasil kerja kerasku selama ini telah berbuah manis. Saat menerima rapor kelas 6 semester 1, aku mendapat ranking 3, sedangkan Vio mendapat ranking 1.
Semua temanku heran dan tidak percaya. Semua orang mulai membicarakan tentang keberhasilanku. Banyak yang berpikir macam-macam tentangku. Tapi aku tidak peduli. Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan dan kepada Vio.

***

     Tabungan ku yang sudah berbulan-bulan ku isi, aku buka. Uangnya cukup banyak. Aku berencana akan memberikan kado untuk Vio, juga sebagai ucapan terima kasih. Sore itu, aku berangkat ke toko di dekat rumah. Aku melihat sebuah jam tangan yang sangat bagus.

     Aku lihat, harganya 11.500 rupiah. Aku mulai menghitung uang recehku. “Seribu, seribu tujuh ratus, lima ribu, tujuh ribu delapan ratus… Sepuluh ribu lima ratus! Wah, bagaimana ini, uangku kurang seribu!”seruku.

     Di tengah kebingunganku yang memuncak, sebuah tangan menepuk pundakku. “Cici, ngapain kamu di sini?” tanya Kak Elang. “Oh, Kak Elang.. Ini kak, aku mau membeli kado untuk Vio. Tapi, uangku kurang seribu.” kataku sambil tertunduk lesu.

     “Cici, tenang ya, kakak punya uang untuk kamu pakai untuk membelikan Vio kado.” kata Kak Elang sambil tersenyum. “Yang benar kak? Terima kasih Kak Elang.” ucapku sambil bergegas membayar jam itu dan pulang.

***

     “Vio, selamat ulang tahun ya..” ucapku sambil memberikan kado yang sudah ku bungkus rapi semalam. “Wah, terima kasih ya Cici kamu sampai repot memberi kado untuk aku.” kata Vio sambil tersenyum lebar. “Sama-sama, Vio. Aku sangat berterima kasih karena kesabaran kamu selama ini dalam mengajari aku.” kataku.

     “Vio, kenapa kamu sedih? Bukannya kamu seharusnya senang karena kamu berulang tahun dan mendapat nilai tertinggi di ujian akhir sekolah? Ada apa?” tanyaku keheranan.

     “Justru itulah, Ci. Pada saat kenaikan sekolah ini, aku dan keluargaku akan tinggal di Bandung selama 3 bulan, karena papaku ditugaskan bekerja di sana. Aku tidak bisa bertemu kamu selama 3 bulan.” kata Vio lesu.

     Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa tertunduk sedih. Aku menceritakannya pada kakakku. “Kamu yang sabar ya, Ci. Kamu pasti bisa melewati semuanya.” hibur Kak Elang.

***

     Aku membuka sebuah kotak kecil yang sudah usang. Di dalamnya terdapat sehelai sapu tangan biru muda yang sangat cantik. Itu adalah kado ulang tahunku ketika aku berumur 3 tahun.

     Aku mengambil pensil, jarum, benang biru tua, dan gunting. Aku membuat sulaman di atas sapu tangan itu, bertuliskan Ravio Arjunadi. Setelah 3 hari, sulaman itu jadi. Aku akan memberikannya kepada Vio.

     “Vio, aku memberikan ini untuk kenang-kenangan. Jangan pernah lupakan aku.” kataku. “Ya ampun Cici, kita kan tidak bertemunya cuma 3 bulan..” kata Vio santai. “Tapi aku pasti akan sangat kangen..” desahku. “Aku juga kok.” ucap Vio sambil menepuk pundakku.

     “Apa boleh aku buka sekarang?” tanya Vio. “Terserah.” jawabku. Vio mulai membuka kotak hijau berpita merah itu. Dia mengeluarkan sehelai sapu tangan biru dari dalamnya. “Wah, cantik sekali..” seru Vio. “Terima kasih ya..” sambungnya.

     “Sama-sama Vio.” jawabku. Tin..Tin…Tin…. “Cici, aku harus pergi sekarang. Orang tuaku sudah menungguku di dalam. Terima kasih untuk sapu tangannya.” kata Vio sambil melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam mobil. Aku hanya bisa mengangguk, tidak bisa berbuat apa-apa.

     “Cici, sabar ya. Waktu 3 bulan itu cuma sebentar. Kamu harus menjalani  hidup kamu seperti biasanya.” hibur Kak Elang. “Terima kasih ya Kak..” kataku sambil mengusap mataku yang berkaca-kaca.

***
     Pagi-pagi, Kak Elang mengantarku ke SMPN 9. Itu adalah SMP favorit, banyak anak yang ingin masuk ke sana. Aku bisa masuk di sana karena mendapat beasiswa. Aku sangat bersyukur. 
     Karena mataku minus, aku menggunakan kacamata. Kacamata ku bentuknya bulat dan besar. Rambutku yang acak-acakan, sekarang sedikit rapi karena ku ikat dua. Aku pun mendapat seragam, tas, buku-buku, dan alat tulis yang baru. Aku sangat senang.

     Aku merasa nyaman dan senang belajar di sana. Aku menjalani hari-hariku seperti biasanya. Belajar, membereskan rumah, bermain, dan hobi baruku, bermain keyboard. Setiap pulang sekolah, aku selalu pergi ke  tempat penyewaan keyboard. Di sana aku belajar bermain keyboard, menyanyi, dan membuat lagu selama 2 jam setiap hari.

     Tanpa sadar, waktu sudah berjalan 3 bulan. “Oh Tuhan, apakah Vio akan kembali ke sini lagi? Apa dia masih ingat sama aku?” tanya ku dalam hati. Aku merasa sangat kangen kepada Vio.

***
     Pagi itu, saat aku memasuki ruang kelas, teman-temanku sedang berkerumun. “Ada apa sih?” tanyaku keheranan. “Ada anak baru di kelas kita. Dia pindahan dari Bandung. Ada yang bilang, dia ganteng.” jawab seorang temanku. Aku sangat penasaran.

     Ibu guru wali kelas datang memasuki ruang kelasku. Dia membawa seorang anak laki-laki. Mungkin itu teman baruku. Anak itu memperkenalkan diri, “Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan, nama saya Ravio Arjunadi. Saya pindahan dari SMPN 2 Bandung.”

     Aku sangat terkejut. Vio yang aku kenal selama ini adalah anak laki-laki yang gendut, hitam, jelek, dan ingusan. Tetapi, orang yang ada di hadapanku adalah seorang anak laki-laki yang kurus, putih, tampan, dan memakai jam tangan pemberianku dulu. Apakah dia Vio?

     “Hai Cici.” sapa Vio kepadaku sambil melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan senyum. Itu membuatku semakin percaya bahwa dia benar-benar Vio.

     “Baiklah Ravio, kamu boleh duduk di sebelahnya Lovcy.” kata Ibu Guru kepada Vio. Kebetulan, teman sebangku ku baru saja pindah ke luar kota.

     “Hai Vio, apa kabar?” tanyaku. “Kabarku luar biasa.Kamu?” “Aku juga sangat luar biasa.” jawabku, lalu kami berdua tertawa.

***

     Setiap hari, aku selalu berpenampilan seperti itu. Rambutku yang berombak diikat 2, dengan kacamata besar dan bulat, dan pakaian serba panjang.

     Hingga suatu hari, aku bekerja di sebuah restaurant sebagai pelayan di kota. Aku mendapat teman kerja yang cantik dan baik, namanya Vely. Kami berdua sangat akrab.

     “Ci, apa kamu dari kecil selalu berpenampilan kayak gini?” tanya Vely. Aku mengangguk. “Kamu itu sebenarnya cantik, manis, dan putih. Apa kamu berminat merubah penampilanmu? Aku bersedia kok.” kata Vely. “Oh, tidak usah. Aku sudah terbiasa berpenampilan seperti ini.” jawabku.

     “Kalau kamu mengubah penampilan, mungkin Vio akan lebih sering dekat-dekat kamu.” kata Vely lagi. “Ah, kamu itu ada-ada saja.” sahutku. “Baiklah, aku tidak akan memaksa kamu, sampai kamu mau.” ucap Vely.

***
      “Ci, aku tadi dapat brosur, coba kamu lihat.” kata Vely sambil menyodorkan selembar kertas. Itu adalah audisi lomba menyanyi. “Suara kamu kan bagus, kamu juga bisa main keyboard.  Kamu juga harus merubah penampilan!”

     “Ini anak ternyata cari-cari kesempatan!” omelku dalam hati. Tapi kemudian aku sadar, dengan ini aku bisa membanggakan Vio. “Baiklah, aku menyerah saja.” gumamku. Vely tersenyum puas.

     “Pertama, kita mulai dari kacamata. Kamu harus ngganti kacamata kuno ini sama softlens.” kata Vely sambil melepas kacamataku. “Softlens itu apa sih?” tanyaku. “Sudahlah, kamu nurut aja.” kata Vely.

     Vely memasang softlens di mataku. Dia juga memotong dan merapikan rambutku. Dia memberiku baju yang bagus dan make-up pada wajahku. Aku melihat wajahku di kaca. Aku hampir tidak percaya kalau itu aku.

     “Nah, kalau gini kan kamu lebih cantik. Jujur, selama ini penampilanmu terlihat primitif.” kata Vely sambil tertawa. Aku hanya tersenyum.

     “Ini waktunya nunjukkin kalau kamu yang terbaik. Kamu bisa bikin Vio bangga.” kata Vely. “Terima kasih, Vely. Kamu memang sahabatku yang paling baik.” pujiku. “Sama-sama Cici. Kamu juga sahabatku yang paling baik.” jawab Vely.

***

     “Cici, tenang ya, jangan takut. Ini saatnya buat nunjukkin ke  Vio kalau kamu itu istimewa banget dan berbakat. Berusahalah semaksimal mungkin!” kata Vely menyemangatiku.

     “Terima kasih ya, Vely. Selama ini kamu sudah membantuku. Aku akan memberikan yang terbaik untuk kamu dan Vio!” kataku sambil memeluk Vely.

     Saat namaku dipanggil, dengan gemetar aku menaiki panggung. Aku segera duduk di kursi itu, dan sebuah keyboard melintang di depanku. Aku melihat Vio dan Vely duduk di kursi penonton sambil memberiku semangat.

     Sesaat, aku merasa benar-benar tidak mampu melakukan semuanya. Aku merasa sangat tidak percaya diri. Tapi, aku ingat masa lalu. Bagaimana Vio selalu mengajariku, bagaimana dia selalu menyalakan semangatku. Kemudian, aku berdoa agar aku diberi hikmat untuk melakukan semuanya. Aku ingin membuat mereka semua bangga.

     Jariku mulai menari di atas keyboard. Jantungku berdetak kencang. Saat aku melihat Vio melambaikan tangan ke arahku, aku menjadi tenang. Aku mulai menyanyi.

     Antara percaya dan tidak percaya, aku sudah sampai di akhir lagu ciptaanku sendiri. Aku juga merasa sangat bangga, karena sekarang banyak orang yang mengenal laguku.

     Aku berdiri, mengucapkan terima kasih, lalu menuruni panggung. Jantungku berdetak keras lagi dan aku hampir pingsan. Tubuhku terasa sangat lemas.

     Saat aku hampir jatuh, Vio dengan sigap menolongku. Dia datang menopangku dari belakang. “Trima kasih, Vio. Kamu sudah menolongku.” kataku dengan nafas terengah-engah. Vio mengangguk sambil tersenyum.

***
     “Ci, bentar lagi pengumuman pemenangnya! Aku nggak sabar mendengar namamu dipanggil!” seru Vely bersemangat. “Cici, aku percaya kalau kamu pasti menang.  Kamu  sudah  menampilkan yang terbaik!” kata Vio lembut, sehingga hatiku yang bergejolak menjadi tenang.

     Pembawa acara itu menaiki panggung dengan santai. Berkali-kali ia melemparkan senyum kepadaku. Aku menjadi sangat optimis, tapi tetap tegang. Dia mulai membuka suara. “Baiklah, saat yang kita semua nantikan telah tiba. Saya akan mengumumkan 3 nama pemenangnya.” katanya, lalu membuka amplop putih itu.

     “Juara ketiga, diberikan kepada Arlia Fanny Tia! Selamat, silahkan naik ke atas panggung!” Pembawa acara itu melanjutkan, “Juara kedua di berikan kepada, Alfa Surya Dinatta!” Jantungku semakin berdebar hebat.

     “Dan, juara pertama kami berikan kepada… Siapa ya? Ayo, semuanya semangat dong!” kata pembawa acara itu. “Baiklah, juara pertama yang kita tunggu-tunggu adalah… Lovcy Bellatrix! Selamat ya! Silahkan naik ke atas panggung!” Aku merasa sangat tidak percaya.

     Tepuk tangan yang sangat meriah mengiringi langkahku menuju panggung. Pihak penyelenggara memberikan trophy dan sertifikat kepadaku. “Pertama-tama, terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan, karena Dia sudah merencanakan sesuatu yang indah untuk saya. Terima kasih  juga saya ucapkan kepada orangtua dan kakak saya. Tidak lupa, saya mengucapkan terimakasih kepada Vio dan Vely, sahabat terbaik saya. Karena mereka, saya bisa seperti ini.” 

     Aku merasa sangat senang dan bangga. Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Vio dan Vely. Aku merasa sangat beruntung. “Vio, Vely, terima kasih karena selama ini kalian sudah sangat baik dan mengubah hidupku.” kataku kepada Vio dan Vely.

     “Sama-sama Ci. Kami juga merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti kamu!” kata Vio, lalu memelukku. “Sama-sama juga, Cici.” kata Vely sambil tersenyum.

***
     Aku sangat tidak menyangka. Sejak setelah mengikuti acara itu, banyak tempat hiburan dan sekolah-sekolah yang memanggilku untuk bernyanyi di sana. Bahkan, juga ada beberapa stasiun televisi yang besar dan terkenal.

     Sementara sahabatku, Vely yang berwajah cantik itu, sekarang menjadi model. Dia juga sering ditawari untuk bermain sinetron. Sedangkan Vio melanjutkan kuliahnya untuk menjadi dokter.

     Aku mulai menjalani hari-hari baruku yang penuh kesibukan. Ayah, ibu, Kak Elang, dan Vio selalu menyemangatiku. Aku dan Vely juga saling memberi semangat.

***

     Kehidupan kami sekarang benar-benar berubah. Aku tidak menyangka, kini aku menjadi penyanyi terkenal, dan ‘Fanatic Lovcy’ selalu mengiringi langkahku.

     Vely juga menjadi artis yang sukses. Banyak orang yang mengidolakannya. Dan sekarang, Vio menjadi seorang dokter yang sangat sukses. Itu bisa terlihat sejak dulu, karena Vio adalah anak yang sangat pandai.

     Dan Kak Elang, dia kini menjadi pemilik supermarket yang sangat besar. Kami semua benar-benar sukses dan berhasil sekarang.

***

     Suatu siang, aku mengajak Vio, Vely, dan Kak Elang untuk makan di sebuah restaurant. “Vio, Vely, dan Kak Elang, mari kita bersyukur dan merenungkan keberhasilan yang sudah kita raih.” kataku kepada mereka.

     “Kita semua selama ini sudah mendapat bimbingan dan penyertaan Tuhan, juga motivasi dan semangat dari orang-orang di sekitar kita.” kata Kak Elang kepada kami.

     “Terutama aku, kak. Aku merasa sangat bersyukur kepada Tuhan, karena sudah mengirimkan Vio kepadaku. Kalau saja, dulu Vio tidak mau bersimpati kepadaku yang jelek, bodoh, dan tidak punya apa-apa, pasti aku tidak akan bisa seperti ini..”

     Aku melanjutkan, “Tanpa semangat dari Kak Elang, aku juga tidak bisa apa-apa, kak. Juga Vely. Kamu juga berperan besar untuk mengubah hidupku menjadi lebih baik. Terima kasih Vio, Kak Elang, dan Vely.”

     “Ah Cici, kamu nggak usah berlebihan.” kata Vely malu-malu. “Sama-sama, Lovcy. Kamu sangat berharga bagi aku.” kata Vio. “Kamu juga sangat berarti untuk kakak.” sahut Kak Elang.

     “Kakak berharap, kita semua bisa kayak gini untuk selamanya.” kata Kak Elang. Kami semua sangat terharu sampai meneteskan air mata.

***
     Hari ini adalah hari pernikahan Kak Elang. Kak Elang menikah dengan sahabatku sendiri, yaitu Vely. Aku merasa sangat senang, karena ternyata kami menjadi satu keluarga.
“Kak Elang, selamat ya. Juga Vely, aku merasa sangat bahagia karena kamu jadi kakak iparku.” ucapku kepada Kak Elang dan Vely. “Terima kasih ya, Cici. Kamu memang sahabat dan adik ipar terbaikku.” jawab Vely.

     Setelah acara selesai, aku pergi ke taman di dekat rumahku. Vio datang dan duduk di sampingku. “Hai, ada apa?” tanya Vio. “Kak Elang sangat beruntung bisa berpasangan dengan orang seperti Vely. Apakah aku nanti juga begitu?” kataku sambil melihat capung yang beterbangan.

     “Pasti Cici! Jangan khawatir, kan ada a..” “Ada apa?” “Tidak.” “Siapa?” “Bukan!” Aku hanya diam, lalu tersenyum.

***

     “Cici, apa kamu ingat, dulu Pak Dito pernah berkunjung ke sini dan membicarakan tentang perjodohan kamu dengan Didi, anaknya?” tanya Ayah. “Ya, aku ingat Yah. Ada apa?” tanyaku.

     “Besok, kami akan membicarakan hal itu lagi. Keluarga Pak Dito dan keluarga kita akan bertemu.” kata Ayah lagi. “Baiklah, Ayah.” jawabku, lalu masuk ke dalam kamar.

     Aku menangis. Aku sadar, bahwa aku selama ini benar-benar mencintai Vio. Tapi, sekarang aku harus bersama orang lain.

     Vely mengetuk pintu kamarku. “Silahkan masuk.” sahutku. “Cici, ada apa?” tanya Vely. Aku menceritakan semuanya.

     “Cici, kamu sabar ya. Aku udah 2 tahun jadi kakak iparmu, jadi aku ngerti kamu banget. Aku tahu dari dulu, kalau kamu sangat mencintai Vio.” hibur Vely.

***

     Aku sudah duduk di kursi bersama Ayah, Ibu, Kak Elang, dan Vely. Kami sedang menunggu kedatangan Pak Dito dan keluarganya. Tak lama kemudian, dokter yang ramah itu datang. “Didi masih dalam perjalanan. Tunggu sebentar, ya.” kata Pak Dito.

     “Nah, itu si Didi. Dia sudah datang.” kata istri Pak Dito sambil menunjuk seorang pemuda. Suasana hatiku benar-benar tercampur aduk.

     Didi sudah semakin dekat. Aku benar-benar terkejut sampai seakan dunia ini berhenti! Ternyata, Didi adalah Ravio Arjunadi, orang yang selama ini sangat ku cintai.

     Vio duduk dengan senyum yang sangat manis. “Ah, kamu itu membuat aku terkejut saja. Ternyata panggilanmu di rumah adalah Didi!” kataku sambil mencubit pipi Vio. Vely dan Kak Elang tertawa senang. Akhirnya, acara itu dapat berjalan dengan lancar.

***

     Akhirnya, hari yang ku tunggu-tunggu sudah tiba. Aku menikah dengan Ravio Arjunadi. Aku merasa ini semua hanya mimpi yang susah terwujud. Tapi, ini hidupku dan kenyataan.

     Padahal, aku dulu adalah Lovcy Bellatrix yang jelek, hitam, bau, rambut acak-acakan, bodoh dan tidak punya apa-apa yang ditolong oleh seorang Ravio Arjunadi yang hitam, gendut, jelek, dan ingusan tapi sangat pandai.

     Demikianlah kisahku yang sangat menyenangkan. Tidak ada yang salah kan, jika aku menyebut diriku adalah gadis yang paling beruntung di dunia?

***
Repost from : http://kristianafanpuspitasari.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar